Perempuan Dalam Bayang-Bayang Konstruksi Sosial
Menyandang status sebagai wanita di Indonesia bukanlah perjalanan yang ringan untuk dihadapi dan dijalani. Kekerasan, pelecehan, ketidakadilan, serta stigma yang terus menghantui kami adalah kenyataan yang harus dihadapi setiap hari. Terlebih lagi, kita hidup dalam bayang-bayang konsep sosial yang dibangun oleh masyarakat. Stigma adalah salah satu aspek yang tak terpisahkan dari konstruksi sosial ini, dan perempuan sering kali terikat oleh banyak stigma yang timbul dari konstruksi sosial tersebut.
Sebagai contoh, seorang perempuan yang telah bercerai akan diberi label sebagai “janda” dan dikaitkan dengan suatu warna tertentu yang terus melekat dalam stigma tersebut hingga saat ini. Lalu, apakah pria tidak menghadapi hal yang serupa?
Meskipun julukan untuk mereka yang bercerai mungkin sama-sama diberikan, pernahkah kita berpikir bagaimana stigma negatif hanya ditempelkan pada wanita yang bercerai, sedangkan pria yang bercerai tidak dianggap buruk? Bahkan, ada istilah ‘Duren atau Duda Keren’ yang muncul dalam masyarakat. Hal-hal sekecil ini sebenarnya adalah ketidakadilan terhadap perempuan. Mengapa masyarakat memiliki pandangan buruk terhadap janda? Apakah ada yang salah dengan menjadi seorang janda?
Pada kenyataannya, status janda hanya sebatas label semata. Banyak perempuan yang telah bercerai harus bekerja keras untuk membesarkan anak mereka seorang diri. Mereka harus mengoptimalkan tenaga dan mental mereka untuk menjalani dua peran sekaligus, dan itu tidaklah mudah.
Tidak ada wanita yang ingin menjadi janda dengan sengaja, tentunya ada alasan yang memaksa dan keputusan berat yang harus diambil oleh mereka. Sayangnya, masih banyak yang memandang mereka dengan sebelah mata karena stigma yang ada.