Mengenal Praktik Surogasi di dalam RUU Ketahanan Keluarga Republik Indonesia. Diskriminasi atau Mencegah Eksploitasi?
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketahanan Keluarga, yang sebelumnya menjadi kontroversial beberapa tahun lalu, kini kembali menjadi sorotan di media sosial, khususnya pada platform Twitter/X. Berdasarkan informasi dari news.republika.co.id, RUU tersebut telah mendapat penolakan dari kelima Fraksi yakni di antaranya, Fraksi PDI Perjuangan, Golkar, PKB, Demokrat, dan Nasdem.
Lalu, apa yang menjadi alasan utama RUU tersebut kembali menjadi sorotan media sosial?
Salah satu substansi regulasi yang paling diperbincangkan adalah terkait praktik surogasi. Dokumen RUU Ketahanan Keluarga, yang dapat diakses melalui situs resmi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia pada laman berkas (https://berkas.dpr.go.id/akd/dokumen/RJ2-20200214-123150-1266.pdf), menegaskan larangan terhadap setiap individu yang melakukan surogasi untuk memiliki keturunan, sebagaimana diatur dalam Pasal 32. Pasal 141 menjelaskan bahwa setiap individu yang sengaja melakukan surogasi untuk tujuan memperoleh keturunan, sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1), akan dikenai pidana penjara maksimal 5 tahun dan/atau denda hingga Rp 500.000.000,00. Selanjutnya, Pasal 142 dan 143 mengatur hukuman bagi mereka yang membujuk, memfasilitasi, memaksa, dan/atau mengancam orang lain agar bersedia melakukan surogasi, beserta korporasi yang turut serta dalam praktik tersebut.
Kontroversi mengenai substansi ini memunculkan dua pandangan dalam melihat keberadaan praktik surogasi, yaitu pandangan mendukung dan menentang.
Pertanyaan pun muncul, apakah praktik ini perlu diatur dengan regulasi yang ketat, ataukah tidak perlu?
Stefánsdóttir (2018) mendefinisikan surogasi sebagai proses di mana seorang wanita mengandung dan melahirkan anak untuk pasangan atau individu lain, yang kemudian pasangan tersebut menjadi orang tua sah dari anak itu.
Dalam pandangan pihak yang menentang RUU ini, mereka memandang bahwa melarang surogasi dapat dianggap sebagai pembatasan hak keluarga dan kesempatan bagi perempuan yang tidak dapat hamil dan memungkinkan berujung kepada diskriminasi. Sementara itu, mereka yang mendukung regulasi terkait surogasi di dalam RUU, mendapati kekhawatiran akan potensi eksploitasi wanita sebagai bagian dari bisnis surogasi, dan dapat dikatakan sebagai “new form of prostitution”. Sejumlah penelitian pula beranggapan bahwa praktik surogasi ini dapat menimbulkan pertanyaan tentang eksploitasi, komodifikasi tubuh perempuan, dan hak-hak anak.
Menurut American Society for Reproductive Medicine, surogasi adalah “legitimate treatment option” atau “pilihan pengobatan yang sah” untuk individu atau pasangan tertentu, tetapi harus didekati dengan hati-hati dan pertimbangan yang cermat terhadap implikasi etisnya.
Tetapi, apakah apakah ada hal yang etis di dalam praktik surogasi?
Segalen (2017) mengemukakan bahwa usaha apapun untuk mengatur surogasi secara “etis” cenderung menyebabkan terjadinya penyalahgunaan dalam praktik tersebut, karena kegagalan dalam regulasi dapat mengarahkan pasangan ke negara-negara yang kurang memperhatikan standar etika. Ia pun mengulas mengenai konsep “ethical surrogacy,” yang meskipun tampak sederhana, sebenarnya memunculkan sejumlah pertanyaan kompleks dan kontradiktif. Dalam konteks implementasi surogasi yang dianggap “etis,” terdapat konflik dalam pengaturan kontrak/perjanjian yang kompleks.
Seorang ahli hukum menyoroti kebuntuan ini dengan merujuk pada banyak kasus litigasi di Amerika Serikat, dan menyatakan bahwa melarang kontrak antara pasangan yang dituju dan ibu pengganti dalam surogasi tidak sepenuhnya efektif untuk mencegah kemungkinan konflik, mengingat adanya hubungan dan relasi yang dapat memicu sengketa pribadi (Fabre-Magnan, 2013, 66).
Meskipun istilah “etis” mencirikan praktik surogasi sebagai perjanjian yang “ringan,” prosedur kontraktualisasi sebenarnya merumuskan komodifikasi tubuh perempuan, objektifikasi anak, dan legalisasi penelantaran anak. Sebagai contoh di Yunani, di mana surogasi “altruistik” diizinkan tanpa imbalan finansial, investigasi menunjukkan bahwa praktik ini seringkali melibatkan rekrutmen “di bawah meja” dan melibatkan imigran Eropa yang berada dalam situasi ekonomi yang sulit. Kritik terhadap legalisasi surogasi pula timbul dari perspektif hak asasi manusia, dengan argumen bahwa melegalkan praktik ini seolah-olah mendukung ide bahwa seseorang dapat menjual atau menyewakan dirinya sendiri. Hal ini juga dapat menimbulkan pelanggaran terhadap hak anak, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 3 Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child):
“… the best interest of child interest shall be the primary consideration” atau “kepentingan terbaik anak harus menjadi pertimbangan utama”
Namun pada kenyataannya, praktik surogasi justru bertentangan dengan prinsip konvensi tersebut, sebab bila meninjau contoh kasus yang ada, anak dianggap sebagai objek dalam perjanjian tersebut.
Sumber:
1. American Society for Reproductive Medicine. (2017). “Ethics Committee Opinions — Commercial Surrogacy.” Fertility and Sterility, 107(1), 18–22. doi: 10.1016/j.fertnstert.2016.11.025
2. Anderson, E. (1990). “Is Women’s Labor a Commodity?” Philosophy and Public Affairs, 19(1), 71–92.
3. Baylis, F. (2013). “Altruism and Exploitation in Surrogacy.” Bioethics, 27(5), 231–238. doi: 10.1111/bioe.12000
4. Golombok, S., & Cook, R. (2015). “Families Created through Surrogacy: Mother-Child Relationships and Children’s Psychological Adjustment at Age 7.” Developmental Psychology, 51(7), 1012–1019. doi: 10.1037/dev0000027
5. Segalen, M. (2017). Pourquoi la gestation pour autrui dite « éthique » ne peut être. Travail, genre et sociétés, 38, 53–73. https://doi.org/10.3917/tgs.038.0053
6. Shenfield, F., de Mouzon, J., Pennings, G., Ferraretti, A. P., & Nygren, K. G. (2010). “Cross-border Reproductive Care in Six European Countries.” Human Reproduction, 25(6), 1361–1368. doi: 10.1093/humrep/deq073
7. Spar, D. L. (2010). “The Baby Business: How Money, Science, and Politics Drive the Commerce of Conception.” Beacon Press.
8. Stefánsdóttir, A. (2018). Is ʻsurrogacyʼ an infertility treatment? Clinical Ethics, 13, 75–81.
9. Teman, E. (2010). “Birthing a Mother: The Surrogate Body and the Pregnant Self.” University of California Press.